Selasa, 02 Oktober 2007

PERTANYAAN MAHASISWA

1.Tanya :Unsur utama apakah yang harus ada di dalam penelitian ilmiah?
Jawab :Selain objek penelitian yang sering dibatasi oleh sampel, unsur ruang,tempat,lokus dan waktu, juga unsur permasalahan itu sendiri.

2. Tanya : Esensi apakah yang bernilai paling tinggi dari suatu penelitian ilmiah, apabila kaidah penelitiannya secara umum telah dipenuhi?
Jawab: Esensi manfaatdari suatu penelitian, dipastikan menjadi hal yang paling utama.
3. Tanya : Kok membuat penelitian ilmiah menjadi bertambah sulit, setelah belajar metodologiPenelitian. Jawab : Setelah mempelajari metode penelitian ilmiah (secara benar) semestinya akan mempermudah kita untuk memulai melakukan penelitian ilmiah. Kalau begitu mungkin ada sesuatu yang salah atau kurang dalam mempelajari metodologi penelitiannya.

4. Tanya : Harus mulai darimana untuk melakukan Penelitian Ilmiah? Jawab :Coba Anda mulai dengan menemukan masalah yang ada di sekitar Anda, (tapi jangan asal mencari-cari masalah) dan uji kembali apakah masalah tersebut layak untuk diangkat sebagai sesuatu yang akan dicarikan solusinya secara ilmiah.

Jumat, 14 September 2007

SPIRITUAL LEARNING


PENDIDIKAN AKHLAKUL KARIMAH DAN BUDI PEKERTI SISWA SEKOLAH LANJUTAN DI DKI JAKARTA, sebagai bagian dari upaya pembentukan GENERASI YANG BERSIH TRANSPARAN dan PROFESIONAL
H.Darsana Setiawan*
LATAR BELAKANG
Jakarta sebagai Ibukota negara dan kota Metropolitan merupakan sentra urbanisasi berbagai strata kehidupan termasuk para pelajar dan mahasiswa। Kondisi ini semakin meningkat terutama pada situasi krisis multidimensional sampai saat ini. Heterogenisasi berbagai suku, adat istiadat, agama, budaya dan sikap perilaku dapat dengan mudah menimbulkan ekses negatif terjadinya bentrokan, tawuran, pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba, minuman keras, pelanggaran hak serta berbagai tindak kriminal.Diperlukan upaya untuk menyikapi secara positif sehingga berbagai ekses negatif tersebut tidak muncul (terutama di kalangan pelajar) melalui berbagai aktivitas pembelajaran di sekolah.

PENDIDIKAN AKHLAKUL KARIMAH DAN BUDI PEKERTI DI SEKOLAH
Dipilih pendidikan akhlakul karimah dan budi pekerti sebagai topik utama, dengan pertimbangan ;Dengan akhlak mulia serta budi pekerti luhur maka siswa akan menerima kontribusi bermakna di dalam pendewasaan berpikir, bersikap serta berperilaku di dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian output pendidikan di masa datang tidak hanya siswa yang cerdas secara rasional, akan tetapi juga cerdas secara emosional, sosial dan spiritual.Diyakini bahwa akumulasi kemampuan dari Intelektual Quotient(IQ), Emosional Quotient(EQ), Creativity Quotient(CQ), dan Adversity Quotient(AQ) yang tergali melalui proses pembelajaran bermakna dengan bimbingan Guru yang berkarakter dan profesional akan melahirkan kemampuan ;Spiritual Quotient(SQ) ; Inilah sebenarnya terminologi akhir dari hasil belajar yang harus di-advocasi secara proporsional tidak hanya oleh lembaga pendidikan skolastik, akan tetapi juga oleh masyarakat dan orang tua sebagai pemegang mandat pertama tanggung jawab masa depan anak. Kondisi yang kurang menggembirakan dari proses pendidikan anak bangsa dewasa ini harus segera diakhiri, dengan cara memberikan ruang keterlibatan dan kepedulian masyarakat akan peran tanggung jawab mereka sebagai BULETIN KURIKULUM DI LUAR SEKOLAH
Oleh karena proses pendidikan selalu melewati lorong pembiasaan, pembelajaran dan peneladanan, maka kemanapun para pembelajar akan mengembara di dalam pencapaian masa depannya, pasti terinfiltrasi oleh sikap perilaku orang tua maupun masyarakat di sekitar saat menjalankan amanah profesinya masing-masing। Pendidikan memang tidak berada di ruang hampa, yang terbebas dari segala kontaminasi virus-virus kontra produktif dari terbentuknya Kecerdasan Spritual (Spiritual Quotient). Oleh karenanya pendidikan diharapkan mampu menjadi filter yang akomodatif dari seluruh kontaminan yang masuk ke dalam lubuk sanubari anak didik, sehingga proses internalisasinya menghasilkan kemampuan diri untuk bertahan dari serangan dan gangguan perilaku menyimpang.

KONDISI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA DAN KEWARGANEGARAAN
Dua mata pelajaran yang selama ini dianggap oleh masyarakat kita lebih dominan memberikan pelayanan ranah afektif adalah Pendidikan Agama dan Pendidikan kewarganegaraan
a. Pembelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewargane-garaan yang diberikan selama ini di sekolah, dinilai belum mampu membentuk sikap dan kepribadian siswa yang berakhlakul karimah serta berbudi pekerti luhur। Padahal esensi pembelajaran nya justru menanamkan akhlak mulia serta budi pekerti luhur, dan bukannya sekedar pengetahuan tentang agama dan kewarganegaraan b. Metodologi pembelajaran Pendidikan Agama dan Kewarganegaraan di sekolah yang terlalu verbalistis dan hafalan tidak menyentuh ranah perilaku, serta terlepas dari prinsip keteladanan। Hal ini lebih banyak dipengaruhi oleh sistem sentralistis dan budaya petunjuk (juknis dan juklak) Proses Belajar Mengajar yang mengeliminir kreativitas serta otonomi pedagogi Guru. C. Sistem pembelajaran yang partial dari setiap mata pelajaran menyulitkan siswa di dalam implementasi pada kehidupan nyata di masyarakat. d. Orientasi pembelajaran masih dipegang oleh Guru, melalui seberapa tinggi prosentase target kurikulum yang telah di ajarkan. Hal ini menyebabkan implementasi materi bahan pembelajaran lebih bersifat wacana bahkan prawacana. e.Orientasi kurikulumnya memang berorientasi pada materi pembelajaran yang artinya Siswa telah belajar tentang …”sesuatu” …dan belum pada sasaran kompetensi peserta didik (Siswa dapat melakukan …”sesuatu”…)

STRATEGI PEMBELAJARAN
Upaya pendidikan Akhlakul Karimah dan Budi Pekerti di sekolah diselengga-rakan secara integratif di dalam setiap mata pelajaran yang relevan, ke dalam setiap tatanan sosial budaya pendidikan।Sajian materi tidak lagi sebagai substansi semata-mata akan tetapi lebih difokuskan kepada proses “interaksi sosial budaya dan edukatif antara siswa dengan seluruh komponen kehidupan di sekolah maupun di masyarakat yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya akhlak mulia serta budi pekerti luhur”। Guru sebenarnya sudah merancang program pembelajarannya dengan Tujuan Instruksional Khusus (TIK) ; Siswa dapat melakukan …।”apa”…sehingga hanya konsistensi proses pelayanan Guru yang diperlukan agar pada akhir proses pembelajaran dapat diukur kemampuan dari perilaku konstruktif siswa। Hambatan yang ditemui para Guru di lapangan adalah sulitnya membuat alat ukur penilaian afektif yang memenuhi kaidah-kaidah evaluasi non kognitif। Sehingga seringkali warna subjektivitas membaur lebih dominan di dalamnya। Keterlibatan orang tua dan masyarakat sekolah diperlukan tidak sekedar sebagai kontributor anggaran dan biaya pendidikan di sekolah semata, namun terlebih sebagai partnership aktif yang tiada henti ikut serta mengambil peran membantu pembinaan sikap, moral dan attitude para peserta didik। Inilah keterpaduan kinerja yang menjadi modal awal terbentuknya Community Based Education di masa datang।TOPIK MATERI SAJIANDipilih enam topik utama sajian materi Akhlakul Karimah dan Budi Pekerti yaitu:
1. Akhlakul karimah kepada Alllah swt, dengan men”tauchid”kan Allah, bertaqwa, berdoa, berdzikir dan bertawakal kepada Allah swt sesuai tuntunan agama.2. Akhlakul karimah kepada para Nabi dan Pemimpin, dengan mencintai dan mentaati petunjuknya, menziarahi dan mempelajari sejarahnya.3. Akhlakul karimah kepada Keluarga, dengan berbuat baik kepada Orang Tua, saling menghormati dan mencintai, bersifat terbuka dan sabar, selalu bersyukur, tawadhu’, benar dan jujur.
4. Akhlakul karimah kepada Masyarakat dan Tetangga, dengan saling hormat menghormati, persaudaraan, adil pemaaf, dan selalu bermusyawarah di dalam mengambil keputusan bersama.5. Akhlakul karimah kepada Kepala Sekolah, Guru, karyawan dan teman di sekolah dengan menghormati dan selalu berbuat baik, serta menjauhi akhlak yang tidak terpuji seperti dendam, iri hati, khianat, penipu, pembohong dan sebagainya.6. Akhlakul karimah kepada Alam Raya, Hewan, Tumbuhan, Air, Udara serta pendukung sumber kehidupan lainnya, sebagai ciptaan Allah swt. Memang tidak mudah mengintegrasikan ke-enam topik tersebut ke dalam setiap proses pembelajaran yang dijalani dan sekaligus juga di yakini. Namun sebenarnya tidaklah sulit apabila kita bersedia memulainya kembali, sekarang juga diawali dari diri kita sendiri !.
Jakarta17 September 2001

DIPOSTING (DIANGKAT KEMBALI) Ba’da Subuh tanggal 2 Ramadhan 1428 H di Jakarta, Semoga Bermanfaat. Amien.

Kamis, 13 September 2007

ORASI ILMIAH

PRESPEKTIF PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI DKI JAKARTA


Mensyukuri nikmat yang telah dilimpahkan Tuhan kepada kita, kiranya menjadi pilihan yang tepat di saat ini, untuk senantiasa di ungkap dan direfleksikan dalam kehidupan nyata dari setiap insan hamba Allah, terutama insan almamater STIA ...yang melaksanakan Dies Natalis ke ॥“rumah pendidikan” yang dicintainya
Usia ..tahun secara fisik badaniyah, setidaknya mencerminkan kondisi puncak aktivitas seseorang untuk memperluas jangkauan kinerjanya, sementara eskalasi mentalnya juga sedang menuju kearah titik kematangannya.
Analogi perkembangan tersebut tentu menjadi harapan kita semua, dalam memaknai kondisi prima lembaga pendidikan STIA ...ini.


Berbicara tentang pembangunan sektor pendidikan, tentu akan berbicara pula tentang apa yang akan dicapai dengan pembangunan pendidikan yang kita lakukan selama ini। Terlalu sering kita mengutip deskripsi fungsi Pendidikan Nasional seperti yang tertuang di dalam Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, namun hampir terlupakan oleh kita semua bahwa rumusan fungsi Pendidikan Nasional yang kita ungkapkan itu merupakan bagian dari ruang lingkup visi masa depan bangsa Indonesia, seperti yang tertuang dalam Ketetapan MPR RI Nomor VII Tahun 2001.
Visi masa depan bangsa Indonesia tersebut terdiri dari ; pertama visi ideal bangsa yang tertuang di dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, yang saat ini sedang menjadi hot-news politisi sehubungan dengan banyaknya politisi yang menarik dukungan terhadap amandemen Undang Undang Dasar Tahun 1945 yang diprakarsai oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kedua, visi antara atau visi Indonesia 2020 dan ketiga adalah visi pembangunan lima tahunan itu sendiri.
Pada forum wisuda yang berbahagia ini perkenankanlah saya memberikan penekanan pada visi Indonesia 2020 yang sedang kita jalani serta hadapi bersama, melalui pembangunan masa depan di sektor pendidikan. Perlu dipahami bersama bahwa dari seluruh kinerja kita di sektor pendidikan saat ini, akan bermuara akhir pada nilai besaran kontribusi terhadap pencapaian visi Indonesia 2020.
Terkait dengan visi itu, Tilaar(2004), dalam bukunya yang berjudul “Manifesto Pendidikan Nasional” mengungkapkan adanya 7 identifikasi tantangan yang menghadang di depan kita, seperti ;
1) memantapkan persatuan bangsa serta kesatuan negara 2) menegakkan supremasi hukum secara berkeadilan 3) mewujudkan kehidupan politik yang demokratis 4) meningkatkan pemerataan ekonomi yang produktif 5) mewujudkan kehidupan sosial budaya yang beradab 6) meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan 7) mempersiapkan masyarakat Indonesia memasuki era globalisasi.
Dengan munculnya tantangan tersebut, tidak berarti tugas yang diemban pembangunan sektor pendidikan menjadi partial, terutama dalam menjawab tantangan peningkatan kuslitas SDM, bahkan setidaknya pembangunan sektor pendidikan ke depan harus mampu memenuhi harapan serta kebutuhan masyarakat, agar tetap eksis di dalam percaturan kehidupan nasional maupun internasional. Untuk itu diperlukan akselerasi aktivitas berbagai sub-sistem dari Sistem Pendidikan Nasional kita, sehingga memungkinkan terjadinya eskalasi hasil belajar yang tidak saja memenuhi Standar Kualitas yang ditentukan, akan tetapi juga memenuhi hak dasar setiap warga negara untuk mampu hidup mandiri.
Kristalisasi konsepsi tersebut merupakan “harga mati” yang harus dibayar oleh bangsa Indonesia melalui aktivitas pembangunan pemberdayaan warga negaranya.

Era keterbukaan dunia saat ini memang memberi peluang interaksi akses antar negara, tidak terkecuali akses di sektor pendidikan. Oleh karena itu peningkatan kualitas pendidikan dan perluasan akses pendidikan memang menjadi “ikon” yang secara dominan harus segera direalisasikan melalui program-program pendidikan di tanah air. Sementara untuk melaksanakan hal tersebut dibutuhkan dukungan dari semua pihak, terutama dukungan akan arti penting pendidikan bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Kita tentu tidak berharap, muncul dukungan dari pihak-pihak yang kelak justru akan menjadi kompetitor negatif yang akan merusak sendi-sendi kehidupan dengan nilai kebangsaan dan patriotisme, yang telah ditanamkan “founding fathers” kita.
Kalkulasi dukungan finansial melalui dana APBN terhadap pembangunan sektor pendidikan di tingkat nasional, memang selalu diantisipasi dengan “under estimate”, walaupun sebenarnya terus terjadi peningkatan, seperti alokasi 11,7 % di tahun 2007 kemudian meningkat menjadi lebih dari 12,6 % di tahun 2008 mendatang. Angka ini memang masih jauh dari harapan masyarakat yang tertuang di dalam undang-undang kita, sebesar 20%. Paskah Suzetta (2007), menyebutkan bahwa pengalokasian dana perimbangan pusat dan daerah untuk sektor pendidikan yang berupa dana alokasi khusus (DAK) maupun dana alokasi umum untuk komponen gaji (DAU), yang diserahkan kepada pemerintah daerah, terus mengalami peningkatan secara significant, yaitu 625 milyar rupiah di tahun 2003 menjadi 5,3 triliun rupiah di tahun 2007 ini. Selanjutnya, Kepala Bappenas juga mengungkapkan adanya akselerasi peningkatan anggaran pada tahun 2006 yang lalu, yaitu alokasi anggaran pendidikan yang disediakan melalui Kementrian atau Lembaga di tingkat pusat, ternyata sudah mencapai 50,6 triliun rupiah, sementara rencana kenaikan pentahapan di tahun 2006 sebenarnya hanya 33,8 triliun rupiah.
Terkait dengan hal tersebut, kita semua justru dikejutkan oleh pernyataan terbuka menteri keuangan di pertengahan tahun 2007 ini, yang meminta seluruh kementrian dan lembaga pemerintah (termasuk yang menangani sektor pendidikan), untuk segera mencairkan dana APBN tahun 2007 yang masih diparkir di sertifikat Bank Indonesia.
Kita percaya bahwa keprihatinan seorang menteri keuangan bukan hanya karena masalah perlambatan pertumbuhan ekonomi yang terjadi sebagai akibat besarnya dana pembangunan yang diparkir, namun lebih dari itu proses pendidikan memang tidak bisa dan tidak boleh diperlambat akselerasinya. Dukungan pemahaman akan arti penting “makna pendidikan” seperti ini, memiliki peranan yang jauh lebih dahsyat bagi proses peningkatan mutu pendidikan suatu bangsa.
Itu pula sebabnya kaisar Hirohito tidak pernah mempertanyakan “masih berapa besar cadangan devisa yang dimiliki untuk membangun kembali Jepang” sesaat setelah di bom atom oleh Amerika Serikat dan sekutunya, melainkan pertanyaan “masih berapa banyak guru-guru sekolah yang masih hidup, untuk kembali mendidik anak-anak Jepang meraih masa depan yang lebih baik”.
Realita di hadapan kita telah menunjukkan bahwa pemahaman dan komitmen yang tinggi terhadap pendidikan memang masih perlu terus ditumbuh kembangkan, di setiap pikiran para pelayan jasa publik, dan tidak hanya di sektor pendidikan saja.

Terkait dengan perkembangan perguruan tinggi di tanah air akhir-akhir ini, menarik untuk dikaji data peringkat perguruan tinggi di dunia tahun 2004 yang dirilis oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, bahwa dari 500 peringkat perguruan tinggi di dunia, dan 100 peringkat Perguruan Tinggi di Asia, tidak satupun di dalamnya terdapat perguruan tinggi Indonesia। Namun data akhir yang bersumber dari Times Higher Education bahwa dalam peringkat perguruan tinggi di dunia tahun 2006, telah ditemui 1 perguruan tinggi Indonesia berada di peringkat 200 dunia, atau 4 Perguruan Tinggi Indonesia berada di peringkat 200-500 dunia।
Pada tahun ini, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas telah menerbitkan “50 promising Indonesia University 2006” yang di dalamnya terdapat 26 perguruan tinggi negeri dan 24 perguruan tinggi swasta, serta 7 perguruan tinggi di antaranya berada di provinsi DKI Jakarta. Semoga di dalam 100 promising Indonesia University 2007 mendatang, akan semakin banyak lembaga pendidikan tinggi DKI Jakarta masuk di dalamnya. Marilah kita berikan apresiasi yang tinggi kepada Perguruan Tinggi yang tergugah meraih kembali kepercayaan dari “stake-holder” nya (public accountability), sekaligus sebagai pembiasaan berpikir dan bertindak dalam menghormati dan menegakkan “Budaya Mutu” di kalangan masyarakat luas.
Dorongan dan motivasi untuk meningkatkan mutu layanan lembaga pendidikan tinggi memang seharusnya terus dikembangkan, mengingat rendahnya tingkat partisipasi kasar perguruan tinggi (APK PT) yang secara nasional baru berkisar di angka 14 %, sedangkan di DKI Jakarta APK PT berada di kisaran angka 33 %. Data Survey Sosial Ekonomi (Susenas) tahun 2006 menunjukkan bahwa seluruh penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas, yang pernah menikmati pendidikan dan lulus di jenjang pendidikan tinggi hanya 5,05 % saja. Lebih memprihatinkan lagi ternyata data jumlah penduduk kita yang tidak pernah menikmati fasilitasi sekolah sebesar 8,34%. Data akhir tersebut sekaligus dapat dianalisa sebagai suatu “peluang” atau “tantangan”, untuk mengembangkan lembaga pendidikan yang kita cintai ini, agar mampu berperan aktif sekaligus berkontribusi positif menampung mereka yang belum pernah mengenyam fasilitasi pendidikan tinggi. Sekaligus lembaga ini juga diharapkan mampu memberikan pemahaman dan penyadaran akan arti penting pendidikan kepada para pembelajar yaitu mahasiswa STIA ..., sebagai wujud nyata bagi upaya-upaya ikut mencerdaskan bangsa serta meningkatkan kualitas kehidupan berbangsa.

Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai ibukota negara, telah berkembang secara alamiah menuju ke bentuk megapolitan, yang dihuni oleh berbagai bangsa dengan variasi yang multi-etnis dan multi-suku. Kondisi pruralis yang tak terelakkan ini, memposisikan DKI Jakarta sebagai “balon penampung” bagi seluruh permasalahan bangsa dengan aktivitas interaksinya.
Di era otonomi daerah serta iklim keterbukaan dari masyarakat yang demokratis seperti saat ini, potensi elastisitas dari balon penampung tersebut akan menjadi “pertaruhan” tersendiri, sehingga memerlukan kreativitas ide serta gagasan secara berkelanjutan (continuos progress) untuk menciptakan dinamisasi serta harmonisasi tata kehidupan kota megapolitan.
Terkait dengan penyerahan otonomi ke daerah bagi upaya pemberdayaan masayarakat, mungkin kita sepaham dengan realita yang ada bahwa Pemerintah Daerah di berbagai provinsi menghadapi tuntutan masyarakat yang tinggi, namun memiliki Sumber Daya serta Anggaran yang terbatas. Terlebih DKI Jakarta tidak memiliki Sumber Daya Alam secara memadai guna mendukung pendapatan daerah, sehingga tidak ada alternatif lain kecuali pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai aset utama dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya.
Menurut Prof. Donald H Schuster (seorang pakar Neuro- Linguistic Programming dari Iowa, Amerika Serikat) yang disampaikan oleh Agus Sunario (2007), menyatakan pentingnya membangun visi, misi dan tata nilai bersama yang mampu membangkitkan segenap potensi, kekuatan dan Sumber Daya dari setiap Pemerintah Daerah.
Oleh karenanya kehendak seluruh elemen masyarakat Jakarta, direfleksikan dalam Visi Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang bernotasi cukup panjang yaitu; TERWUJUDNYA JAKARTA SEBAGAI IBUKOTA NEGARA REPUBLIK INDONESIA YANG MANUSIAWI, EFISIEN DAN BERDAYA SAING GLOBAL, DIHUNI OLEH MASYARAKAT YANG PARTISIPATIF, BERAKHLAK, SEJAHTERA DAN BERBUDAYA, DALAM LINGKUNGAN KEHIDUPAN YANG AMAN DAN BERKELANJUTAN.
Visi tersebut menuntut lahirnya misi serta sistem tata nilai yang ada di dalam masyarakat Jakarta, sehingga ketiganya akan menjadi suatu komitmen bersama yang mampu membangkitkan inspirasi maupun strategi pelaksanaan program operasional yang unggul serta fokus kearah pencapaian visi.
Mengacu pada Visi Pemerintah DKI Jakarta, maka fokus pembangunan sektor pendidikan di desain agar menghasilkan kinerja untuk mewujudkan ; 1) Masyarakat kota internasional yang manusiawi 2) Masyarakat yang memiliki potensi kemandirian dan berdaya saing global 3) Masyarakat yang berakhlak mulia dan berbudaya.

Paska reformasi, lahir keinginan dari sebagian masyarakat kita yang muncul dalam kondisi kurang memahami akan makna “iklim kompetitif” di dalam prespektif psikologi perkembangan pembelajar। Kelompok masyarakat ini lebih menghendaki setiap momentum evaluasi, harus mampu membebaskan setiap pembelajar dari batasan kompetensi minimal hanya pada satu periode tahun pelajaran saja। Keterbatasan wacana seperti ini dapat menimbulkan masalah baru, bahwa pada setiap tahapan ganti kurikulum, maka semua pembelajar yang berada pada tahun pelajaran kurikulum lama, harus diluluskan sehingga tidak mengganggu program layanan yang bervariatif ataupun kerumitan administrasi kesiswaannya। Dengan demikian terjadilah reduksi makna dari proses remidiasi yang berupaya melakukan pemberdayaan pembelajar untuk memperoleh kemampuan kompetitifnya, melalui keseimbangan serta kematangan psikologisnya
Manakala pola pikir demikian menjadi acuan, maka pada era desentralisasi ini, kita justru akan memaksakan kembali kebijakan lama education production function, yang melihat bahwa lembaga pendidikan seharusnya berfungsi sebagai pusat produksi, sehingga pada saat pilihan input dapat terpenuhi, maka hasil output yang dikehendaki harus dapat diakses. Nuansa mekanistik pada pendidikan machinal seperti ini jelas bertentangan dengan paradigma baru pendidikan kita, yang lebih mengedepankan demokratisasi pendidikan serta hak-hak untuk memperoleh pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan internalnya sendiri.
Sungguh suatu tragedi yang amat menakutkan manakala diantara kita tidak ada yang memiliki kepekaaan untuk segera mengakhiri tabiat bangsa yang kontraproduktif dengan kemampuan survival di era kompetitif mendatang. Keterpurukan bangsa sebagai akibat kekurangpedulian kita menyiapkan SDM yang “berkualitas”, harus segera diakhiri, dan hal ini mulai disadari bersama dengan munculnya slogan baru mengiringi peringatan Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2007 yaitu: “Dengan Hardiknas 2007 kita laksanakan pendidikan yang berkualitas untuk semua”.


Kita sadari sepenuhnya bahwa pembangunan sektor pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi merupakan pembangunan yang menyentuh langsung kebutuhan dasar masyarakat, sehingga ketiganya sekaligus menjadi hak esensial bagi setiap individu warga di ibukota Jakarta. Oleh karena itu sesuai dengan skala prioritas layanan publik maka alokasi anggaran pendidikan di dalam APBD Pemda DKI Jakarta untuk tahun 2007 ini, sudah dianggarkan dengan besaran melampaui angka 21%.
Perjalanan pembangunan DKI Jakarta selama kurun waktu 5 tahun (2002-2007) didesain menjadi dua sekuen (tahapan), yaitu tahapan pertama 2002-2004 dengan indikator makro recovery perekonomian daerah, melalui perbaikan infrastruktur sosial ekonomi, serta ketertiban-keamanan dan peningkatan layanan publik. Selanjutnya pada tahap kedua 2005-2007 difokuskan pada penguatan fundamental sosial-ekonomi untuk mendukung stabilitas pembangunan (stabilization), sehingga pada kurun waktu tahap berikutnya, dapat dilanjutkan dengan penguatan fundamental sosial-ekonomi menuju kemandirian dan kesejahteraan secara berkesinambungan (steady development). Dari perkembangan kondisi tersebut, maka kebijakan pembangunan DKI Jakarta di sektor pendidikan sampai tahun anggaran 2004, secara umum masih didominasi pada upaya peningkatan kuantitas kebutuhan dasar (basic need) pendidikan, melalui pemenuhan sarana prasarana belajar bagi seluruh masyarakat. Sedangkan sejak tahun anggaran 2005 yang lalu, secara sinergis dilakukan peningkatan program layanan yang berorientasi kualitatif kepada stake-holder di Sekolah (SD,SMP,SMA.SMK), Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) untuk Program Penyetaraan Paket A,B dan C , maupun peningkatan kualitas layanan belajar di Perguruan Tinggi.
Berbagai inovasi untuk implementasi peningkatan mutu layanan pendidikan sekolah telah disiapkan, sehingga mampu memberikan alternatif pilihan kepada masyarakat untuk mengikuti program pendidikan yang berkualitas. Melalui kerjasama Dinas Dikmenti Provinsi DKI Jakarta dengan Universitas Indonesia, telah dilakukan rekruetment bagi mereka yang memiliki tingkat intelegensi tinggi dengan IQ 150 ke atas, untuk memperoleh layanan khusus di dalam Program Kelas Superior SMA yang telah dimuali sejak tahun 2006 yang lalu. Sedangkan bagi peserta didik dengan potensi IQ 124 ke atas dapat mengikuti Program Akselerasi Belajar di beberapa SMA Negeri dan Swasta yang ada. Sementara untuk beberapa SMA dan SMK Negeri maupun Swasta lainnya, telah menjalankan Program Kurikulum Internasional untuk mengejar Standar ISO. Dipilih Standar International Bacaloreat dari Cambridge University bagi pengembangan Program Double Calendar SMA, serta disiapkan beberapa SMA PLUS tingkat Nasional, tingkat Provinsi dan tingkat Kotamadya untuk mengantisipasi lahirnya sekolah-sekolah unggulan di DKI Jakarta.
Diprogramkan pada tahun pelajaran 2007-2008 mendatang, warga DKI Jakarta yang peduli dengan pendidikan menengah yang berkualitas, akan melihat dan atau menikmati layanan SMA Unggulan yang berfasilitas benar-benar unggul, yang dibangun pada lahan seluas 37.000 meter di kawasan Ceger Jakarta Timur, melalui alokasi anggaran dana APBD Pemda DKI Jakarta.
Sementara pembangunan SMK bertaraf Internasional secara bertahap terus dilakukan, yang dipersiapkan juga untuk meningkatkan kuantitas populasi peserta didik di sekolah kejuruan, mencapai proporsi sekitar 60% dari anak usia SLTA di DKI Jakarta.

Sudah saatnya kita sadari bersama bahwa yang kita butuhkan adalah layanan jasa pendidikan yang berkualitas untuk semua warga negara (warga kota “megapolitan” Jakarta)। Dan masalah kita dengan hal itu adalah, bagaimana layanan jasa pendidikan yang berkualitas itu dapat diakses oleh setiap warga negara। Fokus permasalahan pendidikan ini, sedapat mungkin tidak bergeser dari bidikan kita ke depan, terlebih dengan banyaknya kepentingan di luar pendidikan yang sudah sering membuyarkan konsentrasi bidikan ke sasaran “mutu” pendidikan yang dapat dipertanggung jawabkan। Semestinya para pelaku pendidikan (Guru) mampu menjadi pelindung terhadap bergulirnya proses pendidikan yang ber “mutu”, sehingga para pembelajar mampu menjadi subjek bagi kebutuhan masa depan yang lebih baik, dan bukan menjadi objek bagi kepentingan mereka di luar kepentingan pendidikan itu sendiri। Bukan lagi saatnya kita berdebat tentang pendidikan murah dan tidak berkualitas, bahkan tak dapat dinikmati oleh masyarakat kita yang miskin। Untuk menjawab tantangan tersebut telah disiapkan berbagai Program Bantuan Pendidikan bagi mereka yang tidak mampu akan tetapi memiliki peluang berprestasi, juga program bea siswa bagi mereka yang berprestasi, bantuan buku pelajaran, bahkan sampai pembebasan seluruh biaya sekolah bagi mereka yang memang kesulitan secara ekonomi, sementara bagi warga Jakarta yang mampu, tetap terbuka untuk berpartisipasi membantu warga lain yang kurang beruntung secara finansial। Konsep “Pintu Terbuka untuk ibadah” ini terus dikembangkan seiring dengan konsepsi Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional kita bahwa pendidikan itu menjadi tanggungjawab bersama antara orang tua, masayarakat dan pemerintah (pemerintah daerah)।

Kebijakan pembinaan pendidikan di DKI Jakarta yang tidak mengenal dikotomi institusi negeri dan swasta, direalisasikan dalam bentuk berbagai subsidi Block Grant dari tingkat pendidikan dasar, menengah bahkan sampai pada Perguruan Tinggi। Tidak kurang dari 13.7 Milyar dana APBD telah dikucurkan untuk membantu lembaga pendidikan tinggi dan perguruan swasta pada tahun 2003 yang lalu, dan secara significant terus ditingkatkan sesuai dengan kondisi dan keterbatasan APBD, untuk memberdayakan layanan jasa pendidikan yang lebih bertanggung jawab mampu memberikan kontribusi positif bagi pemberdayaan masyarakat, khususnya di DKI Jakarta. Sungguh suatu kerja berat berada di hadapan kita bersama, mengingat akselerasi penguasaan teknologi komunikasi dan informasi (Information, Communication and Technology/ICT) yang menjadi salahsatu pertanda penguasaan panggung globalisasi, ternyata masih sangat rendah. Kita patut belajar dari semangat dan kinerja bangsa lain, yang melaju bersatu padu dalam paradigma dan wacana serta realita dalam penerapan ICT untuk melayani kebutuhan masyarakatnya. Pilihan terakhir kita saat ini adalah menjalankan Program ICT di sektor pendidikan untuk membenahi desakkan kebutuhan e-learning atau e-education. Pada seluruh SLTA di DKI Jakarta, Sistem Informasi Manajemen (SIM) Sekolah telah diakses secara virtual melalui jasa internet, dan dalam waktu singkat layanan jasa internet murah akan menjadi alat untuk melakukan efisiensi pengiriman data dan pengemasan informasi yang memenuhi kaidah cepat dan cermat melalui pemberdayaan SDM yang lebih profesional. Pengembangan software komputer telah pula memunculkan pembelajaran virtual laboratory yang menjadi mediasi bagi kendala keterbatasan alat, keselamatan kerja maupun rekayasa modeling melalui simulasi percobaan melalui komputer.
Onno W Purbo (2003), di dalam e-learning pendidikan menyatakan proses pembelajaran dengan ICT di sekolah maupun di perguruan tinggi melalui infrastruktur internet diharapkan mampu mendorong penerapan 3 hal yaitu ; 1) Mailing list, menjadi wahana diskusi untuk melakukan interaksi atau transfer knwoledge 2) Perpustakaan Digital sebagai tempat managerial explicit knowledge 3) University Support System yang merealisasikan dukungan administratif akademik (di sekolah maupun di perguruan tinggi) ataupun dukungan terhadap research and development lainnya.

Terkait dengan kemajuan suatu bangsa, kita meyakini bahwa tidak ada satupun negara maju di dunia ini, yang tidak menerima kontribusi positif dari perguruan tingginya yang juga maju। Oleh karennya Pemerintah DKI Jakarta memandang arti penting keberadaan pendidikan Tinggi dari 3 hal : pertama, keberadaan Perguruan Tinggi sebagai Centre of Excellence yang memberikan pengaruh keunggulan serta dukungan yang sangat tinggi bagi perwujudan hasil pembangunan। Kedua, keberadaan perguruan tinggi yang sangat strategik bagi penyiapan SDM Jakarta yang berkualitas harus berada pada posisi yang baik dan benar sesuai dengan sistem tata kelola serta penataan kota “megapolitan” Jakarta, dan Pemerintah DKI Jakarta berkepentingan terhadap hal ini। Ketiga, dibutuhkan suasana belajar di perguruan tinggi di Jakarta yang kondusif, aman serta nyaman bagi seluruh mahasiswa, sehingga terhindar dari praktek yang kontraproduktif serta merugikan. Hal ini merupakan bagian dari kewajiban Pemerintah DKI Jakarta dalam melakukan advocasi public, khususnya kepada para mahasiswa perguruan tinggi.
Tidak kurang dari 348 lembaga pendidikan tinggi yang berada di DKI Jakarta, 4 diantaranya adalah Perguruan Tinggi Negeri, dan STIA... sebagai salah satu lembaga pendidikan tinggi swasta berada di dalamnya.
Proses globalisasi telah menunjukkan adanya perubahan besar dalam tatanan masyarakat dunia (world community), sehingga perubahan yang terjadi, tidak selamanya mampu secara instant atau otomaticly dapat diakomodasi dengan keterbatasan tingkat kemampuan berpikir maupun sikap perilaku masyarakatnya.
Di sisi inilah “proses pendidikan” mengambil peran aktif menyiapkan dan memberikan solusi melalui kompetensi hasil belajar peserta didiknya.


Sebagai penutup dari orasi ilmiah ini perkenankan saya menyampaikan data kebijakan Pemerintah DKI Jakarta melalui program Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) dalam upaya pemberdayaan tenaga pendidik (guru) sesuai dengan amanat Undang undang Nomor 14 Tahun 2006 tentang Guru dan Dosen.
Peraturan Pemerintah sebagai landasan pelaksanaan UU Nomor 14 tersebut memang telah selesai melewati tahapan uji publik, dan dalam waktu singkat program sertifikasi bagi 200.000 orang Guru di seluruh tanah air, akan siap dilakukan melalui berbagai lembaga pendidikan tinggi (keguruan) di tanah air. Sementara itu sejak tahun 1999 Pemerintah DKI Jakarta telah melakukan profil analysis terhadap keberadaan serta kondisi tenaga pendidik (Guru). Diyakini hanya dengan akurasi data based tentang kebutuhan pemberdayaan Guru maka tingkat profesionalisme tenaga pendidik dapat diwujudkan. Langkah Uji Kompetensi Guru di DKI Jakarta yang ikut memberikan kontribusi positif bagi lahirnya ketentuan perundang-undangan yang melindungi hak-hak Guru telah dilakukan melalui kerjasama dengan Pusat Kurikulum Depdiknas, Pusat Penilaian Pendidikan Depdiknas maupun Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Sejak tahun 2003 yang lalu, Pemerintah DKI Jakarta telah memberikan tambahan dana kesejahteraan bagi para Guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) di luar gaji ataupun honor mengajarnya, sebesar “Satu Juta Rupiah”, dan pada tahun 2006 yang lalu ditingkatkan menjadi “Dua Juta Rupiah” per bulan dan sekarang di tahun 2007 sudah “Dua Setengah Juta Rupiah”.
Kepedulian dan keberpihakkan kepada para tenaga pendidik (Guru PNS) tersebut, diharapkan mampu meningkatkan kinerja profesi keguruan yang berdampak positif bagi peningkatan mutu pendidikan di DKI Jakarta.
Semoga kita bersepakat dalam wacana berpikir bahwa sebaik apapun hasil belajar seseorang, tetaplah harus selalu diuji dalam implementasi serta diperbarui atau diperbaiki dalam proses pembelajaran kembali, untuk memperoleh solusi dari masalah yang dihadapi. Oleh karenanya saya berpesan kepada para wisudawan dan wisudawati STIA .., agar tidak berhenti belajar, karena salah satu ciri profesi adalah perubahan untuk menjawab kebutuhan layanan sehingga tercapai prinsip “Customer Satisfaction”. Prosesi wisuda bukan akhir dari proses belajar akan tetapi justru awal dari masa pengabdian maupun upaya belajar nonformal di masyarakat.
Kepada para orang tua dan keluarga dari para wisudawan dan wisudawati, perkenakan Saya menyampaikan apresiasi serta rasa hormat yang tinggi atas pengorbanan dan pengertiannya selama para wisudawan dan wisudawati belajar sampai menyelesaikan studi kesarjanaan atau studi magister-nya.
Sebagai akhir kata, disampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Saudara Ketua dan jajaran pimpinannya serta seluruh sivitas akademika STIA ..., yang tidak pernah mengenal lelah mengabdi bagi kepentingan pendidikan, serta memberikan kontribusi bagi penyiapan SDM yang berkualitas di Provinsi DKI Jakarta.
Pada kesempatan yang berbahagia ini tak lupa disampaikan ucapan selamat kepada seluruh civitas akademika STIA ...yang sedang memeriahkan Dies Natalis ke 35, “maju terus dan raih kesuksessan dengan kinerja serta “networking” yang lebih baik lagi”.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan perlindungan serta kekuatan kepada kita untuk melaksanakan niatan ibadah, melalui layanan pemberdayaan dan pendidikan bagi hamba-hambaNya. Amien.
Billahitaufiq wal hidayah
Wassalamualaikum Wr Wb
Jakarta, September 2007

kuliah EVALUASI PENDIDIKAN

PENGUKURAN (versi psikometri) :
PENGUKURAN : upaya untuk memperoleh data kuantitatif dari perkembangan (kognitif, afektif dan psikomotor/sensorimotor) dengan menggunakan alat ukur sebagai standar pembanding (bensmarck standardize).
Hasil ukurnya akan sesuai dengan kaidah alat ukur standar manakala digunakan sesuai dengan prosedur spesifikasi tuntutan alat ukur itu sendiri. Perlu diingat bahwa setiap alat ukur memiliki kekurangan atau keterbatasan.
contoh ; untuk mengukur panjang, kita di Indonesia telah bersepakat menggunakan alat ukur standar "meter" (milimeter, centimeter, desimeter ....kilometer ...dst-nya).
Untuk mengukur berat, kita sepakat menggunakan standar ukur "gram" ( satu ons gram = 100 gram, satu kilo gram = 1000 gram, satu ton gram = 10.000 gram...dst-nya)
Untuk mengukur suhu kita sepakat menggunakan derajat Celsius, walaupun bisa juga kita gunakan derajat Reamur, Farenheit atau Kelvin.
Masyarakat Eropa menggunakan standar ukur panjang "feed". Masyarakat tradisonal kita menggunakan standar ukur berat "dacin" untuk menimbang beras/gabah.
Terhadap penggunaan alat ukur yang berbeda tidaklah menjadi masalah, karena bila kita ingin melakukan penyetaraan, cukup kita lakukan KALIBRASI.
Celsius memutuskan untuk menggunakan skala temperaturnya sendiri, dia menentukan titik didih pada 0 °C (212 °F) dan titik beku pada 100 °C (32 °F). Satu tahun kemudian Frenchman Jean Pierre Cristin mengusulkan versi kebalikan skala celsius dengan titik beku pada 0 °C (32 °F) dan titik didih pada 100 °C (212 °F). Dia menamakannya Centrigade.
Pada akhirnya, Celsius mengusulkan metode kalibrasi termometer sbb:
1. Tempatkan silinder termometer pada air murni meleleh dan tandai titik saat cairan di dalam termometer sudah stabil. ini adalah titik beku air.
2. Dengan cara yang sama tandai titik di mana cairan sudah stabil ketika termometer ditempatkan di dalam uap air mendidih.
3. Bagilah panjang di antara kedua titik dengan 100 bagian kecil yang sama.

SISI PANDANG FISIKA & TEKNIK tentang pengukuran :
Tulisan berikut bersumber dari http://www.wikipedia.org/ membahas tentang macam-macam alat ukur menurut versi ilmu alam (fisika);
Dalam fisika dan teknik, pengukuran adalah aktivitas yang membandingkan kuantitas fisik dari objek dan kejadian dunia-nyata. Alat pengukur adalah alat yang digunakan untuk mengukur benda atau kejadian tersebut. Seluruh alat pengukur terkena error peralatan yang bervariasi.
Fisikawan menggunakan banyak alat untuk melakukan pengukuran mereka. Ini dimulai dari alat yang sederhana seperti penggaris dan stopwatch sampai ke mikroskop elektron dan pemercepat partikel. Instrumen virtual digunakan luas dalam pengembangan alat pengukur modern.
Massa
Keseimbangan
penimbang berat
Spectrometer massa
katharometer
Sejarah berat dan pengukuran
Waktu
kalendar
chronometer
jam
jam atom
penanggalan radiometrik
Garis waktu teknologi pengukuran waktu
Panjang (misal, kejauhan)
altimeter (mengukur ketinggian)
skala arsitek
skala teknisi
interferometer
mikrometer
pi tape
odometer
opisometer
penggaris
tape measure
laser rangefinder
ultrasound distance measure
GPS
Electronic distance meter
Luas
planimeter
Sudut
sextant
theodolite
protractor
Suhu
thermometer
thermocouple
thermistor
pyrometer
electromagnetic spectroscopy
Kelembaban
hygrometer
Tekanan
barometer
manometer
Pitot tube (used to determine speed)
anemometer (used to determine wind speed)
tire-pressure gauge
Aliran
pH
Level
altimeter (mengukur ketinggian)
spirit level
laser line level
Dumpy level
Tiltmeter
Radiasi
geiger counter
Nichols radiometer
Suara
Cahaya
Photometer
Spectrometer
Kecepatan
speedometer
airspeed indicator
Torque
De Prony brake
Sifat listrik
electrometer (mengukur muatan)
ammeter (mengukur arus listrik)
galvanometer (mengukur arus)
ohmmeter (mengukur hambatan)
voltmeter (mengukur voltase)
Wheatstone bridge
multimeter (mengukur semua di atas)
oscilloscope
watt meter (mengukur power)
electric energy meter (mengukur energi)
Kekerasan
durometer
Kepadatan
Pycnometer
Tidak terkategorisasi
colorimeter (mengukur absorbance, dan juga konsentrasi)
radiometry
sicroscope
spectroscopy.

Kamis, 06 September 2007

Darsana Setiawan

perwajahan baru sedang di-upgrade mohon kolega yang masuk tidak kecewa.

Rabu, 22 Agustus 2007

INFO-LOKAL

RW 10 Kelurahan Baru Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur pada hari Minggu tanggal 19 Agustus 2007 punya gawe rutine tahunan (Gerak jalan warga & bagi-bagi tropy, doorprize) dan gawe baru Peresmian Kelompok Bermain Pendidikan Anak Usia Dini/PAUD TUMBUHKEMBANG.
Peresmian dilakukan oleh Bapak Camat Pasar Rebo Jakarta Timur (Drs. Denny Wahyu Hariyanto,M.Si) disaksikan oleh Bapak Lurah Baru (Dedi Herdiana,S.Sos) serta seluruh anggota dan ketua Dekel, Pengurus PKK, Pengurus RW 10 dan segenap Pengurus Rt di RW 10.
Tidak kurang dari 53 orang peserta didik di Kelompok Bermain ini ikut aktif dalam memeriahkan acara pesersmian, yang ditandai dengan penandatangan prasasti oleh bapak Camat Pasar Rebo Jaktim dan ditutup dengan penampilan marawis Remaja mushola Al Furqon Rt.01 RW 10 Kel.Baru.
Kelompok bermain PAUD TUMBUHKEMBANG, diketuai oleh Ibu.Hj.Wienarni Darsana dibantu 6 orang fasilitator pembimbing yang berasal dari warga RW 10 Kel,Baru.
Dalam sambutannya Pembina Kelompok Bermain PAUD TUMBUHKEMBANG (Bp Drs.Darsana Setiawan,M.Si) menyampaikan bahwa layanan publik semacam ini menuntut keseriusan semua pihak untuk terlibat sesuai dengan peran dan kompetensinya masing-masing. Education for All tidak akan bermakna bila tidak melibatkan All for Education.

Sabtu, 11 Agustus 2007

RANK: 50 promising indonesia universities tahun 2007

Daftar "50 promising indonesia universities २००७" diurut berdasar alphabet;
  1. Ahmad Dahlan University : www.uad.ac.id
  2. Airlangga University : www.unair.ac.id
  3. Atma Jaya Catholic University Jakarta : www.atmajaya.ac.id
  4. Atma Jaya University Yogyakarta : www.uajy.ac.id
  5. Bandung Polytechnic for Manufacturing : www.polman-bandung.ac.id
  6. Bandung State Polytechnic : www.polban.ac.id
  7. Bina Nusantara University : www.binus.ac.id
  8. Bogor Agricultural University : www.ipb.ac.id
  9. Bunda Mulia University : www.bundamulia.ac.id
  10. Diponegoro University : www.undip.ac.id
  11. Gadjah Mada University : www.ugm.ac.id
  12. Indonesian Institute of the Arts, Jogja : www.isi.ac.id
  13. Indonesian Institute of the Arts , Denpasar : www.isi-dps.ac.id
  14. Indonesian Institute of the Arts , Surakarta : www.stsi-ska.ac.id
  15. Institut Teknologi Bandung : www.itb.ac.id
  16. Institute Teknologi Sepuluh November : www.its.ac.id
  17. Jakarta Institute of the Arts, The : www.ikj.ac.id
  18. Jember University : www.unej.ac.id
  19. Jenderal Soedirman University : www.unsoed.ac.id
  20. Maranatha Christian University : www.maranatha.edu
  21. Merdeka University – Malang : www.unmer.ac.id
  22. Muhammadiyah University of Malang : www.umm.ac.id
  23. Muhammadiyah University of Surakarta : www.ums.ac.id
  24. Padang State Polytechnic : www.polinpdg.ac.id
  25. Padang State University : www.unp.ac.id
  26. Padjadjaran University : www.unpad.ac.id
  27. Palangkaraya University : www.upr.ac.id
  28. Pancasila University : www.univpancasila.ac.id
  29. Parahyangan Catholic University : www.unpar.ac.id
  30. Pasundan University : www.unpar.ac.id
  31. Pelita Harapan University : www.uph.ac.id
  32. Sanata Dharma University : www.usd.ac.id
  33. Satya Wacana Christian University : www.uksw.edu
  34. Sebelas Maret University : www.uns.ac.id
  35. Soegijopranata Catholic University : www.unika.ac.id
  36. Sriwijaya University : www.unsri.ac.id
  37. State University of Malang : www.malang.ac.id
  38. State University of Medan : www.unimed.ac.id
  39. Supra School of Bussiness and Computer : www.supra.ac.id
  40. Tadulako University : www.untad.ac.id
  41. Telkom School of Engineering : www.stttelkom.ac.id
  42. Udayana University : www.unud.ac.id
  43. University of 17 Agustus 1945, The : www.untag-sb.ac.id
  44. University of Bengkulu : www.unib.ac.id
  45. University of Indonesia : www.ui.ac.id
  46. University of Mataram : www.unram.ac.id
  47. University of Surabaya : www.ubaya.ac.id
  48. Widyagama University of Malang : www.widyagama.ac.id
  49. Windya Mandala Catholic University Surabaya : www.wima.ac.id
  50. Yogyakarta State University : www.uny.ac.id
sumber,dikti,२००७
४PerguruanTinggiTersebutDiatasMasuk250sampai500PTterbaikdidunia
yaituUIugmITBdanUNDIPsumberTIMESHIGHEREDUCATIONoct2006

Rabu, 08 Agustus 2007

ALTERNATIF ARAH PENDIDIKAN SEKOLAH KITA KE DEPAN


PENDAHULUAN

Pada hakekatnya proses pendidikan merupakan akumulasi pemberdayaan seseorang untuk menemukan integritas dirinya sendiri। Melalui aktivitas pendidikan itulah seseorang diharapkan dapat memperoleh kemampuan yang dibutuhkan dirinya maupun oleh lingkup masyarakatnya, sehingga mampu memberikan kontribusi nyata sesuai dengan kapasitas kompetensinya। Kompetensi individual sebagai hasil belajar, diharapkan mampu menjadi modal dasar berkontribusi di masyarakat untuk melakukan perubahan (ke arah yang lebih baik)। Oleh karena itu pendidikan kita memerlukan reorientasi (baca ; Paradigma baru pendidikan) yang tidak hanya didominasi oleh Cognitive domain, akan tetapi harus diarahkan pada terbentuknya keseimbangan dengan moral and social action (Suyanto,2006). Itu sebabnya dalam implementasinya pendidikan skolastik yang humanistis tidak sekedar mengangkat harkat kemanusiaan seseorang dari sisi intelektualnya, akan tetapi juga esensi etika, estetika dan kinestika dari dalam potensi diri pembelajar. Dengan demikian konsep belajar dalam pendidikan, selain menghantarkan seseorang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga dapat melakukan “sesuatu”, juga menghantarkan perubahan dalam pribadi seseorang untuk menjadi dirinya sendiri yang lebih baik, bahkan memenuhi kaidah kelayakan untuk diteladani dalam kehidupan masyarakat-nya. Dengan bekal keseimbangan pribadi seperti itulah, peserta didik kita, diharapkan mampu menjadi agen perubahan (agent of change) untuk memenangkan setiap event kompetisi terbuka dalam kehidupan nyata yang tergelar dihadapan mereka.


KONDISI RIIL BAGIAN WAJAH PENDIDIKAN KITA

Realita yang ada dihadapan kita saat ini adalah kondisi pendidikan yang memprihatinkan, karena tereduksinya potensi humanisme oleh dominasi kompetensi akademik yang ternyata juga rendah mutunya, sehingga menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan daya saing kita di tingkat global। Kita sadari sepenuhnya bahwa masalah mutu pendidikan kita, sudah sampai pada tingkat masalah “multidimensional” yang tidak lagi linear serta berdiri sendiri। Terlebih oleh pengaruh yang sangat dominan dalam bentuk anomali pranata kehidupan sosial, sehingga menimbulkan rusaknya tatanan “normatif dan estetis bangsa ini”. Betapa mengerikan bila kita lihat data tahun 2004 yang dilansir oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, bahwa dari 500 Perguruan Tinggi terkemuka di dunia, tidak satupun di dalamnya terdapat Perguruan Tinggi kita, bahkan dari 50 Perguruan Tinggi terkemuka di Asia, juga tidak satupun di dalamnya terdapat Perguruan Tinggi Indonesia. Baru di awal tahun 2007 ini terekam adanya beberapa Perguruan Tinggi kita seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada dan Institut Teknologi Bandung dapat menembus posisi 250-an di jenjang internasional. Dapat dibayangkan di mana posisi hasil belajar peserta didik kita pada jenjang pendidikan dasar dan menengah saat ini, yang terekam dalam laporan peringkat Human Development Index (HDI) bersama 175 negara lain di dunia, dan posisi Indonesia sampai saat ini (Februari 2007) belum mampu berada di peringkat 108 sekalipun. Padahal indikator pendidikan (angka melek huruf dan lama belajar) menjadi bagian dari 2 indikator lain (ekonomi dan kesehatan) dalam penetapan peringkat HDI. Di dalam negeri kondisi ini diperparah oleh keinginan sebagian masyarakat kita yang muncul dengan kondisi kurang memahami akan makna “iklim kompetitif” di dalam prespektif psikologi perkembangan bagi pembelajar. Kelompok masyarakat ini lebih menghendaki agar setiap momentum evaluasi akhir jenjang, harus membebaskan setiap pembelajar dari batasan kompetensi minimal, pada satu periode tahun pelajaran saja. Sehingga manakala dilakukan ujian (termasuk Ujian Sekolah, maupun Ulangan Umum Sekolah, apalagi Ujian Nasional), semua peserta ujian “harus dinyatakan lulus” (kompeten). Dan anehnya penyelenggara Ujian Nasional tahun pelajaran 2004/2005 (Depdiknas) tergelincir dengan negosiasi politis telah menetapkan adanya Ujian Nasional Ulang, bagi mereka yang tidak lulus Ujian Nasional (utama maupun susulan). Aneh tapi nyata, itulah komentar para Guru yang benar-benar memahami akan makna Ujian. Menurut logika penganut faham ini, proses pembelajaran skolastik hanyalah prasyarat administratif untuk memberikan lebel “tanda tamat belajar” dari jenjang pendidikan tertentu tanpa perlu diikuti dengan akuntabilitas kompetensi hasil belajarnya. Keterbatasan wacana seperti ini bahkan sudah berkembang dan menimbulkan masalah baru, bahwa pada setiap tahapan ganti kurikulum, maka semua pembelajar yang berada pada tahun pelajaran kurikulum lama, harus dihabiskan atau diluluskan. Dengan demikian terjadilah reduksi makna dari proses remidiasi yang berupaya melakukan pemberdayaan pembelajar untuk memperoleh kemampuan kompetitifnya, melalui keseimbangan serta kematangan psikologisnya. Sampai saat ini belum dapat kita fahami pemikiran kelompok masyarakat yang menolak adanya standarisasi mutu hasil belajar di sekolah. Apalagi dengan dalih bahwa proses standarisasi telah menyebabkan depresi psikologik peserta didik, hal ini sangat bertentangan dengan teori belajar yang banyak kita anut. Profesor Johanes Surya, PhD, yang sangat dikenal di kalangan Guru sekolah, karena kesuksessan peserta didik kita di berbagai event internasional Olimpiade Fisika, secara tidak langsung telah menentang pendapat kelompok tersebut dengan teori Semesta Mendukung – MESTAKUNG, (2006). Teori mestakung manyatakan bahwa situasi krisis akan menghasilkan kekuatan baru yang tak terduga untuk “survive”. Dan para ahli psikologi tentu percaya bahwa mengikuti ujian tanpa stress serendah apapun, akan diragukan pula hasil maksimal yang dapat dicapai. Seharusnya Ujian akhir (Ujian Sekolah-US dan Ujian Nasional-UN) dipahami sebagai bagian dari proses akhir pendidikan skolastik, sehingga tidak sampai diplesetkan menjadi tujuan akhir proses pendidikan skolastik. Dengan pemahaman seperti ini proses pembelajaran tidak diarahkan semata-mata agar lulus US dan UN semata. Bahkan beberapa sekolah favorite dan yang ingin disebut favorite, telah melakukan kebijakan pada semester akhir di kelas IX (SMP) maupun kelas XII (SLTA), telah meniadakan proses pembelajaran untuk mata pelajaran US tertentu, demi pelaksanaan “drilling” untuk kepentingan lulus UN semata. Ujian Sekolah telah dijamin kelulusannya oleh (otonomi) pihak sekolah walaupun keadaan kompetensi peserta didik seperti apapun rendahnya. Itulah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah (KTSP) yang berlaku di sekolah secara riil, melalui permainan “petak umpet” dengan para “pengawas sekolah yang low-power”. Kondisi seperti ini sebenarnya dapat diatasi manakala para pengawas sekolah memiliki “strong power” di dalam melaksanakan supervisi kepengawasannya. Sungguh suatu tragedi yang amat menakutkan manakala diantara kita tidak ada yang memiliki kepekaaan untuk segera mengakhiri tabiat bangsa yang kontraproduktif dengan kemampuan survival di era kompetitif mendatang. Keterpurukan bangsa sebagai akibat kekurangpedulian kita menyiapkan sumber daya manusia yang “berkualitas”, harus segera diakhiri.



ALTERNATIF ARAH PENDIDIKAN KITA KE DEPAN Diperlukan suatu aktivitas nyata untuk merealisasikan paradigma baru pendidikan kita yang lebih berpihak pada komitmen masa depan peserta didik yang “bermutu” daya pikirnya, “bermutu” sikap perilakunya serta “bermutu” kecakapan hidup-nya। Oleh karenanya sangat disadari bahwa manajemen pendidikan kita di tingkat sekolah, perlu diberdayakan dengan meningkatkan peran partisipasi aktif masyarakat melalui mekanisme lembaga Dewan Pendidikan di tingkat Kabupaten-Kota, dan Provinsi, serta peran aktif Komite Sekolah, yang tidak saja sebagai mediator antara stake-holders dengan pihak eksekutif dan legislatif, akan tetapi juga berdaya dalam mekanisme kontrol penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas, serta dukungan penuh terhadap pelaksanaan program layanan pendidikan yang telah disepakati bersama। Posisi yang benar dari lembaga independen pendukung penyelenggaraan pendidikan di sekolah, selain memberikan variasi warna “mutu” pendidikan sesuai dengan kebutuhan pembelajar, juga memenuhi kaidah paradigma baru pendidikan kita। Namun manakala pendulum keseimbangan bergeser secara dominan pada salah satu sisi Kepala Sekolah atau Ketua Komite Sekolah, bukan tidak mungkin justru yang terjadi adalah hambatan pada implementasi peningkatan “mutu” layanan hasil belajar itu sendiri। Sudah saatnya kita sadari bersama bahwa yang kita butuhkan adalah layanan jasa pendidikan yang berkualitas untuk semua warga negara। Dan masalah kita dengan hal itu adalah, bagaimana layanan jasa pendidikan yang berkualitas itu dapat diakses oleh setiap warga negara। Fokus permasalahan pendidikan ini, sedapat mungkin tidak bergeser dari bidikan kita ke depan, terlebih dengan banyaknya kepentingan di luar pendidikan yang sudah sering membuyarkan konsentrasi bidikan ke sasaran “mutu” pendidikan yang dapat dipertanggung jawabkan। Semestinya para pelaku pendidikan mampu menjadi pelindung terhadap bergulirnya proses pendidikan yang ber “mutu”, sehingga para pembelajar mampu menjadi subjek bagi kebutuhan masa depan yang lebih baik, dan bukan menjadi objek bagi kepentingan mereka di luar kepentingan pendidikan itu sendiri। Bukan lagi saatnya kita berdebat tentang pendidikan murah dan tidak berkualitas, bahkan tak dapat dinikmati oleh masyarakat kita yang miskin। Terlebih dengan system otonomi pendidikan, setiap daerah dituntut memiliki memiliki Sumber Daya Manusia -SDM yang handal, sehingga andalan utama untuk menghantarkan masyarakat ke iklim ‘sejahtera dengan kemandiriannya” dapat diwujudkan. Di sisi lain pada panggung Information-Communication and Technologi (ICT) ketertinggalan kita sangat memprihatinkan. Sungguh suatu kerja berat berada di hadapan kita, mengingat akselerasi penguasaan teknologi komunikasi dan informasi yang menjadi salahsatu pertanda penguasaan panggung globalisasi, ternyata masih sangat rendah. Kita patut belajar dari semangat bangsa lain, yang melaju bersatu padu ketika saat krisis dunia mengguncang negara mereka, sementara hal yang sama melanda kita, ironi yang terjadi justru masing-masing diantara kita sibuk membenahi kebutuhan serta interesnya sendiri, bahkan nyaris baku hantam antar kita nyaris di mana-mana. Dan sekarang kita dapati India memiliki kekuatan ICT yang mampu mendongkrak pertumbuhan ekonominya menuju pada level 9% per tahun, mendekati pertumbuhan ekonomi China yang fantastik di atas level 10 %. Kemajuan pendidikan di China dan India tidak terlepas dari kebijakan pendidikan di Negara mereka yang memberikan kontrol sangat ketat (standar internasional) mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi (termasuk Open University of China yang sangat disegani, ataupun selektivitas maupun anggaran yang tinggi pada perguruan tinggi di India ).


Manakala kita jujur dengan kenyataan ini, sebenarnya ketajaman nurani setiap orang, memang seharusnya diasah oleh gerinda pendidikan yang berkualitas, dan bukan sekedar ampelas pengajaran yang semakin menumpulkan rasa dan kepekaan berbangsa serta bernegara. Pemerataan pendidikan yang tidak dimbangi dengan peningkatan kualitas hasil belajar, hanya akan menghasilkan orang-orang pinter akan tetapi kerdil nuraninya. Kebahagiaannya bukan terletak pada upaya mensejahterakan orang lain, bahkan jauh dari nuansa etika, estetika, apalagi moralitas dan religiusitas. Dalam kerangka itulah Kurikulum baru jenjang pendidikan dasar dan menengah tahun 2006 (berdasar Standar Isi dan Standar Kelulusan dari Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP), lebih dominan menekankan batasan kompetensi dari tiga ranah Kognitif, Afektif dan Psikomotorik, sehingga dapat dijabarkan secara terbuka oleh para Guru di sekolah melalui KTSP nya (termasuk rencana Program Pembelajarannya-RPP dan Silabusnya sendiri).
PENUTUP Dalam perspektif internasional, kita telah lama meratifikasi kesepakatan Wrld Trade Organization-WTO, sebagai salah satu pintu masuk ke era globalisasi। Kalau sampai tahun 2004 seolah kita mampu menolak “request” 6 anggota WTO yaitu AS, Kanada, Australia, New Zealand, Jepang dan Korea Selatan untuk membuka lembaga pendidikannya di Indonesia, maka tidaklah demikian dengan tahun berikutnya, karena secara diam-diam sudah muncul bahkan tahun terkahir secara provokatif berbagai lembaga pendidikan yang berstandar internasional, maupun agen-agen lembaga pendidikan luar negeri yang berada di dalam maupun di luar lembaga pendidikan nasional kita।



Pameran pendidikan internasional telah mampu meyakinkan para orang tua untuk menyekolahkan putra-putrinya di sekolah Indonesia saja, akan tetapi standar mutu hasil belajarnya berstandar internasional seperti standar Cambridge University ataupun New South Wales University . Mungkin lembaga pendidikan di China ataupun India akan terus diburu para orang tua di Indonesia untuk menyekolahkan anaknya, hanya karena konsistensi mutu serta rendahnya biaya pendidikan di kedua Negara tersebut disbanding Australia, Eropa atau Amerika Serikat. Bagi perguruan tinggi di dalam negeri, langkah antisipatif yang dapat ditempuh adalah meningkatkan kemampuan manajerial ke dalam, melalui proses penyehatan manajemen pengelolaan Perguruan Tinggi, serta networking dengan berbagai perguruan tinggi yang berstandar internasional tinggi, melalui twining program ataupun strategi lainnya. Di sisi lain, jangan dilupakan bahwa sudah lama kita telah memiliki system pendidikan di pondok pesantren yang lulusannya memiliki kompetensi berstandar internasional, sehingga dapat diterima langsung di perguruan tinggi ternama seperti Universitas Al Azhar Cayro Mesir. Sedangkan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, telah pula dirintis upaya pembenahan manajemen sekolah melalui program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), dengan kata kunci peningkatan partisipasi stake-holder pada upaya peningkatan mutu hasil belajar di sekolah. Penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) hanya akan efektif dan produktif manakala disertai system control yang ketat dari komite sekolah dan partisipasi aktif orang tua. Perlu disadari bahwa bemper terdepan dari proses layanan pembelajaran menuju kualitas kompetensi hasil belajar berada di tangan para Guru yang profesional. Oleh karenanya langkah kongkrit dari upaya peningkatan mutu pendidikan skolastik justru terletak pada pemberdayaan profesi dan kesejahteraan para Guru di sekolah itu. Tidak pula luput peningkatan profesionalisme para dosen menjadi pilihan skala prioritas yang tak dapat diabaikan di setiap perguruan tinggi, manakala harapan survival yang akan kita raih dalam percaturan kompetisi terbuka saat ini. Manakala aktivitas penelitian dari para dosen kita menjadi pilihan untuk meningkatkan “kum” serta kepangkatan akademik mereka, maka sudah selayaknya memperoleh dukungan positif serta memadai dari lembaga pendidikan tinggi bersangkutan, (itupun kalau tujuan akhirnya adalah memberikan yang terbaik kepada para mahasiswanya). Hendaknya kita sadari bersama, bahwa hanya dengan dukungan “Customer Satisfaction” yang berjalan pada setiap pembelajaran, maka akuntabilitas publik dapat kita raih, menjadi suatu kekuatan serta dukungan yang luar biasa. Memang harus diakui, langkah afiliasi dengan berbagai institusi pendidikan yang berkualitas dari Luar Negeri (standar internasional yang tinggi), merupakan upaya kreatif yang mengandung proses inovatif, dan layak memperoleh perhatian dari berbagai kalangan yang peduli pada rumah pendidikan kita. Sudah bukan saatnya kita membohongi diri sendiri dengan menolak atau memusuhi ‘standar mutu internasional” dengan menggunakan konsepsi hak-hak individual pada prinsip HAM secara keliru. Karena tidaklah dapat kita wujudkan mutu pendidikan yang tinggi TANPA pembanding standar yang bermutu tinggi pula. Hal itu selaras dengan pemikiran bahwa “hak setiap warga negara untuk “survive” harus dikedepankan dihadapan semua interest yang mereduksi eksplorasi potensi individu”, sehingga layanan pendidikan kita seharusnya dapat memenuhi kebutuhan peserta didik sesuai dengan kemampuan internalnya. Inilah esensi PEMBERDAYAAN MELALUI PENDIDIKAN SECARA BERKEADILAN. Biarkan sekolah-sekolah yang didukung secara finansial cukup tinggi oleh para orang tua dan stake holders-nya menolak dana BOS, (asalkan peserta didik di sekolah tersebut yang berasal dari golongan ekonomi lemah, juga memperoleh perlakuan dan layanan yang sama, melalui dana subsidi silang dan tidak terdiskriminasi melalui berbagai tata tertib maupun berbagai aturan sekolah). Di kondisi seperti ini faktor kejujuran pihak pengelola sekolah serta yayasan sekolah menjadi sangat dominan, untuk selalu diawasi oleh masyarakat yang peduli. Lembaga pendidikan Sekolah memang bukanlah lembaga layanan publik yang “steril” dari keinginan masyarakat yang ingin berpartisipasi aktif dan positif untuk memajukan mutu pendidikan anak bangsa, sesuai dengan nafas dari Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional kita yang menyebutkan tanggung jawab bersama dari pendidikan itu sendiri yaitu pemerintah, masyarakat dan orang tua. Tidaklah ada arti dan maknanya kehidupan suatu bangsa ke depan, tanpa kesadaran akan arti penting pemberdayaan bangsanya (melalui pendidikan), namun kesadaran saja tidaklah cukup untuk menggerakkan roda mutu pendidikan tanpa melakukan apa-apa untuk pendidikan itu sendiri!. Sebagai self evaluation, tinggalah melihat dimana posisi kita sekarang berada. Secercah harapan, mudah-mudahan saja saat ini, “sesuatu” sedang kita lakukan untuk berkontribusi aktif terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan anak bangsa!.
Berikut ada beberapa pesan untuk kita semua tentang pendidikan sekolah; 1। Pendidikan sekolah bukanlah fasilitas ala kadarnya, yang dapat diberikan dengan sengaja mendaruratkan keadaan, lalu diberikan layanan pendidikan di luar kebutuhan serta di bawah standar kompetensi peserta didik, dengan alasan “sekolah seadanya dulu, daripada tidak sekolah!!!!!”

2। Pendidikan yang bekualitas tinggi, memang membutuhkan biaya tinggi, namun bangsa ini telah bersepakat di dalam Undang Undang Dasar bahwa setiap warga Negara memiliki hak untuk memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas tinggi itu, seberapapun mahalnya!!! 3। Pemerintah menjadi fasilitator utama bersama masyarakat yang mampu (melalui regulasi ketentuan hukum untuk partisipasi aktif pada sektor pendidikan), sehingga mampu merealisasikan anggaran 20 % APBN/APBD di sektor pendidikan secara nyata। Akhirnya, patut dikemukakan bahwa fasilitas pendidikan sekolah bukanlah fasilitas ala “permen karet” yang nampak di luar mulut selalu aktif mengunyah (makan), akan tetapi tak ada gizi yang dapat menyehatkan dan memenuhi kebutuhan serta mampu menyelamatkan masa depan anak bangsa। Semoga,……। Catatan dan aktivitas penulis (2007) · Ketua Ikatan Alumni UT Provinsi DKI Jakarta / Pengamat Pendidikan Dasar dan Menengah / Alumni Program Pasca Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. / Mahasiswa Program Doktor di Jakarta / Dosen pada beberapa Perguruan Tinggi di Jakarta